Wednesday, March 26, 2014

KEMBALIKAN INDONESIAKU

1. KEMBALIKAN INDONESIAKU!!    


Mari kita kobarkan kembali rasa cinta tanah air, rela berkorban, rasa senasib sepenanggungan, semangat persatuan dan kesatuan, dan menjadikan kemajemukan kita sebagai kekuatan.Bangsa Indonesia akan memperingati hari kemerdekaannya yang ke-68. Dalam kesempatan bersejarah ini, perlu bagi kita untuk merenung dan  menilai secara jujur sudah sampai manakah pencapaian kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?  
Pertanyaan lainnya adalah, apakah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sudah mampu melaksanakan tujuan pembentukan negara seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa kita? Apakah segenap rakyat Indonesia sudah merasakan manfaat dari penyerahan kebebasan mereka untuk diatur negara ini dan merasakan keadaan yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem karta raharja?
Pasti ada sisi terang, walaupun tidak kurang sisi kelam yang membayangi perjalanan hidup Indonesia. Sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia yang demokratis, Indonesia sudah menjadi anggota G-20. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia sudah hampir mencapai satu triliun dolar AS. Rasio utang Indonesia terhadap PDB sebesar 25 persen, cadangan devisa 114, 502 miliar dolar AS dan defisit publik kurang dari 2 persen terhadap PDB menunjukkan kekuatan dan stabilitas ekonomi Indonesia pada 2011.
Selama tujuh tahun terakhir, angka kemiskinan di Indonesia terus menurun dari 36,1 juta orang atau 16,66 persen dari total penduduk pada Februari 2004 menjadi 29,9 juta orang atau 12,36 persen dari total penduduk pada September 2011. Pertumbuhan ekonomi Indonesia beberapa tahun terakhir selalu berkisar di atas 6 persen. Kondisi ekonomi makro yang stabil dan sehat, tetapi apakah segala keberhasilan yang dicapai benar-benar sudah memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat?
Nyatanya, kita masih merasakan bayang-bayang gelap yang menghantui. Rasanya kita belum benar-benar eksis sebagai sebuah negara yang berdaulat. Masih banyak persoalan kebangsaan yang harus kita tangani secara komprehensif dengan semangat kebersamaan bila kita tidak ingin menjadi negara gagal seperti hasil penelitian organisasi nirlaba Foreign Policy and Fund for Peace. Indonesia berada di nomor urut 63, lebih buruk dari 2011 yang berada di urutan 64. Daripada berdebat tentang apakah Indonesia memang negara gagal, mari kita jadikan Failed States Index (FSI) tersebut sebagai pemicu untuk mengoreksi kekeliruan.   

Demokrasi Bukan Tujuan
Rasanya, kekeliruan kita yang utama adalah menempatkan demokrasi sebagai tujuan, padahal itu hanya cara untuk mengejar cita-cita nasional. Akibatnya, politik kita jadikan panglima. Masih pula perlu kita pertanyakan kesesuaian sistem kenegaraan kita saat ini dengan falsafah Pancasila. Rasanya Pancasila sudah kita lupakan dan buang jauh-jauh dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bagaimana tidak, setelah empat kali perubahan Undang-Undang Dasar 1945, kita justru menafikan golongan minoritas. Bila dahulu MPR masih menampung aspirasi kelompok minoritas dalam bentuk utusan golongan, sekarang hanya ada perwakilan rakyat yang dipilih mewakili partai dan mewakili daerah. Dikhawatirkan terjadi tirani mayoritas, hilangnya hak kaum minoritas.
Dalam aspek ekonomi, kita pertanyakan kedaulatan kita sebagai bangsa. Kita sudah melenceng dari amanat  BAB XIV Pasal 33 UUD 1945 yang mengatur bahwa: perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kenyataannya justru banyak aset ekonomi dan strategik kita yang dikuasai asing semisal telekomunikasi, perbankan, pertambangan dan energi. Dalam hal pangan pun kita belum mampu berswasembada apalagi berdaulat.
Tengoklah di sektor perbankan, misalnya, penguasaan aset perbankan nasional oleh bank milik negara dan swasta nasional kian menyusut, digantikan penguasaan aset oleh bank milik asing yang meningkat tajam dan mendominasi. Kepemilikan asing di bank-bank tumbuh menjadi 21 persen di 2011. Aset bank swasta nasional yang dimiliki lokal terus merosot dari 42 persen di 1998 ke-22 persen pada 2011, sedangkan aset bank BUMN terus tergerus dari 44 persen pada 1998 menjadi 35 persen di 2011. Apabila ditotal dengan kantor cabang bank asing dan bank campuran, maka total pangsa pasar bank milik asing di Indonesia sudah mencapai 34 persen (Koran Jakarta, 26 Juli 2012).      
Mari kita menyimak ayat 4 Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Tapi apa kenyataannya?
Kita justru melihat tingkat kesenjangan yang semakin tinggi. Data Rasio Gini yang merupakan ukuran ketimpangan pendapatan Indonesia mencapai 0,41 pada 2011, memburuk dari 0,38 pada 2010. Konglomerasi semakin merajalela, ketimpangan antardaerah, antarwilayah, dan antargolongan cenderung meningkat.
Sesungguhnya, tak satu pun amanat konstitusi kita yang mewajibkan untuk menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, tetapi mengutamakan pemerataan dan keadilan. Bukankah perintah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa” harus diartikan sebagai kebersamaan, bukan untuk segolongan masyarakat?     

Wajib Tegakkan Keadilan
Dalam aspek politik kita melihat demokrasi dengan sistem pemilihan yang bebas dinodai oleh politik transaksional. Kondisi ini mengakibatkan pemimpin yang terpilih belum tentu adalah putra terbaik bangsa, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin saat ini banyak diragukan. Mereka melihat betapa banyak pejabat publik menjadi tersangka, terdakwa, bahkan terhukum dalam kasus korupsi dan penyuapan. Harus ada rekonstruksi politik yang lebih baik untuk lebih menjamin proses pemilihan yang melahirkan pemimpin yang terbaik.
Dalam suratnya kepada Bishop Mandell Creighton, 1887, Lord Acton menuliskan “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Dengan demikian, kuncinya adalah transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang kuat. Namun apa lacur, penegak hukum belum memenuhi harapan. Ingat kasus rekening gendut para petinggi Polri dan transfer uang yang mencurigakan seperti dilaporkan PPATK? Kasus-kasus besar seperti Bank Century dan Hambalang dikhawatirkan lenyap begitu saja.
Kita juga perlu mempertimbangkan untuk meredefinisi ulang politik luar negeri kita agar lebih efektif dalam memperjuangkan dan menjaga kepentingan nasional. Bukankah seharusnya kebijakan politik luar negeri semata-mata ditujukan untuk pencapaian kepentingan bangsa? Kalau demikian, mengapa pilar utama politik luar negeri kita lebih didasarkan pada kepentingan regional dan internasional, bukan kepentingan nasional?
Selama 40 tahun terakhir, ASEAN selalu menjadi sokoguru politik luar negeri Indonesia, terutama karena Indonesia adalah salah satu pendiri dan pemrakarsa ASEAN. Karena itu, ASEAN seharusnya merupakan instrumen politik luar negeri Indonesia karena dianggap mampu menyelesaikan permasalahan regional, bahkan internasional.
Kenyataannya, forum-forum ASEAN tidak mampu menyelesaikan masalah antarnegara anggota, bahkan kecenderungannya adalah Indonesia banyak mengalahkan prinsip dan kepentingan nasionalnya sendiri demi keutuhan ASEAN. Ketegangan di Laut China Selatan yang kembali memanas akhir-akhir ini merupakan salah satu bukti nyata bahwa ASEAN memang tidak berdaya. 

Kembalikan Indonesiaku
Dalam aspek persatuan, kita masih melihat adanya gangguan separatisme di daerah. Ada pula kesenjangan antardaerah, antargolongan, serta antara pusat dan daerah. Bentrokan antargolongan masih terjadi, terutama dengan adanya kelompok-kelompok anarkis yang melakukan tindakan kekerasan dan teror terhadap masyarakat. Belum lagi peperangan antargeng dan antargolongan yang kembali merebak.
Gangguan terhadap kedaulatan wilayah kita masih terasa. Banyak intrusi yang dilakukan negara asing terhadap wilayah perairan dan perbatasan. Berkurangnya luas wilayah nasional akibat berpindahnya tapal batas wilayah kita di Kalimantan serta pelanggaran udara dan laut RI oleh pesawat udara dan kapal perang terutama kapal selam asing yang bahkan tidak pernah kita ketahui adanya, adalah contoh kurangnya kemampuan dan kekuatan laut dan udara kita dalam mengendalikan dan menjaga kedaulatan RI.
Lebih dari itu, bangsa Indonesia saat ini tercabut dari akarnya. Wawasan kebangsaan yang bersumber dari landasan Pancasila tidak lagi menjadi falsafah kehidupan. Bahkan, kita sudah tidak lagi paham landasan kebangsaan kita, yaitu kekeluargaan, musyawarah, dan mufakat karena batang tubuh konstitusi kita sudah disimpangkan dari Pembukaan UUD 45 yang merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Kontemplasi dan perenungan ini sesungguhnya bukanlah untuk menyanggah segala keberhasilan, tetapi lebih sebagai upaya untuk menyadarkan kita semua bahwa masih sangat banyak kekurangan yang perlu kita perbaiki.
Pasti bukan kebetulan 17 Agustus 2012 yang akan kita rayakan beberapa hari lagi bertepatan jatuh pada hari Jumat bulan Ramadan 1433 H, persis sama dengan 17 Agustus 1945 yang juga jatuh pada hari Jumat bulan Ramadan 1364 H. Ini menjadi peringatan kepada kita semua untuk kembali berjuang, mengembalikan keindonesiaan kita dengan memperbaiki pola pikir, pola sikap, dan pola tindak. Indonesia harus kita kembalikan kepada haluannya yang benar, sesuai cita-cita pembentukannya, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Mari kita kobarkan kembali rasa cinta tanah air, rela berkorban, rasa senasib sepenanggungan, semangat persatuan dan kesatuan, dan menjadikan kemajemukan kita sebagai kekuatan. Bhinneka Tunggal Ika dan Merah Putih harus kembali kita junjung tinggi dan kita kibarkan. Dengan kata lain, mari kita kembalikan Indonesia. Dirgahayu Republik Indonesia ke-68, hiduplah Indonesia raya.
(PERISKOP/SHNEWS.CO/P.011)


BUNGA LAMBANG PROVINSI


 

4. Mendeskripsikan bunga satu lambing satu provinsi



Lambang Daerah Istimewa Yogyakarta

Lambang Daerah Istimewa Yogyakarta atau sering disebut golong-gilig adalah lambang berbentuk bulat (golong) dan silinder (gilig) yang terdiri dari lukisan bintang, padi dan kapas, tugu bersayap,lingkaran merah yang mengelilingi lingkaran putih, dan ompak bertatakan teratai.

Gambar bintang pada lambang ini memiliki makna Ketuhanan Yang Maha Esa. Padi dan kapas sebagai simbol kesejahteraan. Tugu bersayap sebagai simbol perikemanusiaan, sayap bagian dalam berjumlah 9 tertuju pada Hamengkubuwono IX dan bagian luar berjumlah 8 tertuju pada Paku Alam VII memiliki makna kepemimpinan. Lingkaran merah putih untuk simbol kebangsaan. Umpak dengan lapik tatakan bunga teratai sebagai simbol kerakyatan.



TOKOH WAYANG DI INDONESIA

3.Mendeskripsikan tokoh wayang di Indonesia
RADEN GATOTKACA

Raden Gatotkaca 
Raden Gatotkaca adalah putera Raden Wrekudara yang kedua. Ibunya seorang putri raksasa bernama Dewi Arimbi di Pringgandani. Waktu dilahirkan Gatotkaca berupa raksasa, karena sangat saktinya tidak ada senjata yang dapat memotong tali pusatnya. Kemudian tali pusat itu dapat juga dipotong dengan senjata Karna yang bernama Kunta, tetapi sarung senjata itu masuk ke dalam perut Gatotkaca, dan menambah lagi kesaktiannya.
Dengan kehendak dewa-dewa, bayi Gatotkaca itu dimasak seperti bubur dan diisi dengan segala kesaktian; karena. itu Raden Gatotkaca berurat kawat, bertulang besi, berdarah gala-gala, dapat terbang di awan dan duduk di atas awan yang melintang. Kecepatan Gatotkaca pada waktu terbang di awan bagai kilat dan liar bagai halilintar. Kesaktiannya dalam perang, dapat mencabut leher. musuhnya dengan digunakan pada saat yang penting. Gatotkaca diangkat jadi raja di Pringgadani dan ia disebut kesatria di Pringgadani, karena pemerintahan negara dikuasai oleh keturunan dari pihak perempuan. Dalam perang Baratayudha Gatotkaca tewas oleh senjata Kunta yang ditujukan kepada Gatotkaca. Ketika Gatotkaca bersembunyi dalam awan. Gatotkaca jatuh dari angkasa dan mengenai kereta kendaraan Karna hingga hancur lebur. Gatotkaca beristerikan saudara misan, bernama Dewi Pregiwa, puteri Raden Arjuna.
Dalam riwayat, Gatotkaca mati masih sangat muda, hingga sangat disesali oleh sekalian keluarganya.
Menurut kata dalang waktu Raden Gatotkaca akan mengawan, diucapkan seperti berikut :
Tersebutlah, pakaian Raden Gatotkaca yang juga disebut kesatria di Pringgadani: Berjamang mas bersinar-sinar tiga susun, bersunting mas berbentuk bunga kenanga dikarangkan berupa surengpati. (Surengpati berarti berani pada ajalnya. Sunting serupa ini juga dipakai untuk seorang murid waktu menerima ilmu dari gurunya bagi ilmu kematian, untuk lambang bah.wa orang yang menerima ilmu itu takkan takut pada kematiannya). Bergelung (sanggul) bentuk supit urang tersangga oleh praba, berkancing sanggul mas tua bentuk garuda membelakang dan bertali ulur-ulur bentuk naga terukir, berpontoh nagaraja, bergelang kana (gelang empat segi). Berkain (kampuh) sutera jingga, dibatik dengan lukisan seisi hutan, berikat-pinggang cindai hijau, becelana cindai biru, berkeroncong suasa bentuk nagaraja, uncal diberi emas anting.
Diceritakan, Raden Gatotkaca waktu akan berjalan ia berterumpah Padakacarma, yang membuatnya dapat terbang tanpa sayap. Bersongkok Basunanda, walaupun pada waktu panas terik takkan kena panas, bila hujan tak kena air hujan. Diceritakan Raden Gatotkaca menyingsingkan kain bertaliwanda, ialah kain itu dibelitkan pada badan bagian belakang Raden Gatotkaca segera menepuk bahu dan menolakkan kakinya kebumi, terasa bumi itu mengeram di bawah kakinya. Mengawanlah ia keangkasa.
Wayang itu diujudkan sebagai terbang, ialah dijalan kain, dari kanan ke kiri, dibagian kelir atas beberapa kali lalu dicacakkan, ibarat berhenti di atas awan, dan dalang bercerita pula, Tersebutlah Raden Gatotkaca telah mengawan, setiba di angkasa terasa sebagai menginjak daratan, menyelam di awan biru, mengisah awan di hadapannya dan tertutuplah oleh awan di belakangnya, samar samar tertampak ia di pandangan orang. Sinar pakaian Gatotkaca yang kena sinar matahari sebagai kilat memburunya. Maka berhentilah kesatria Pringgadani di awan melintang, menghadap pada awan yang lain dengan melihat ke kanan dan ke kiri. Setelah hening pemandangan Gatotkaca, turunlah ia dari angkasa menuju ke bumi,            Adipati Karna waktu perang Baratayudha berperang tanding melawan Gatotkaca. Karna melepaskan senjata kunta Wijayadanu, kenalah Gatotkaca dengan senjata itu pada pusatnya. Setelah Gatotkaca kena panah itu jatuhlah Gatotkaca dari angkasa,, menjatuhi kereta kendaraan Karna, hingga hancur lebur kereta itu.          
Tersebut dalam cerita, Raden Gatotkaca seorang kesatria yang tak pernah bersolek, hanya berpakaian bersahaja, jauh dari pada wanita.
Tetapi setelah Gatotkaca melihat puteri Raden Arjuna, Dewi Pregiwa, waktu diiring oleh Raden Angkawijaya, Raden Gatotkaca jatuh hati lantaran melihat puteri itu berhias serba bersahaja. Berubah tingkah Raden. Gatotkaca ini diketahui oleh ibunya (Dewi Arimbi) dengan sukacita dan menuruti segala permintaan Raden Gatotkaca. Kemudian puteri ini diperisteri Raden Gatotkaca.
BENTUK WAYANG
Gatotkaca bermata telengan (membelalak), hidung dempak, berkumis dan beryanggut. Berjamang tiga susun, bersunting waderan, sanggul kadal-menek, bergaruda membelakang, berpraba, berkalung ulur-ulur, bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Berkain kerajaan lengkap.
Gatotkaca berwanda 1 Guntur, 2 Kilat 3 Tatit. 4 Tatit sepuh, 5 Mega dan 6 Mendung.

PANGERAN DIPONEGORO

2.Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta, 11 November 1785.  Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah Hindia-Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban paling besar dalam sejarah Indonesia. 

Pemerintah Republik Indonesia memberi pengakuan kepada Pangeran Diponegoro sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.87/TK/1973.

Penghargaan tertinggi juga diberikan oleh Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) , pada 21 Juni 2013 yang menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada 1832-1833. 

Sejarah Asal-usul Pangeran Diponegoro

Merupakan putra sulung Sultan Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Ontowiryo.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III, untuk mengangkatnya menjadi raja mataram dengan alasan ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.

Riwayat Perjuangan Pangeran Diponegoro

Perang Diponegoro berawal saat pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Beliau muak dengan kelakuan Belanda yang tidak mau menghargai adat istiadat masyarakat setempat dan juga mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.Perjuangan Pangeran Diponegoro ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan.

Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. 

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putera Pangeran Diponegoro. Pangeran Alip atau Ki Sodewo atau bagus Singlon, Diponingrat, diponegoro Anom, Pangeran Joned terus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat Putera Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewo.

Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Citrawati. Perjuangan Ki Sadewa untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan.

Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran.


Penangkapan dan pengasingan

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro

Pada tanggal 20 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.

Tanggal 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.

11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.

30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Dipasana dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna akan dibuang ke Manado.

3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.

1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.

8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar.

Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. 

http://kgssulaiman.blogspot.com/2013/12/sejarah-pangeran-diponegoro.html