Mari kita
kobarkan kembali rasa cinta tanah air, rela berkorban, rasa senasib
sepenanggungan, semangat persatuan dan kesatuan, dan menjadikan kemajemukan
kita sebagai kekuatan.Bangsa Indonesia akan memperingati hari kemerdekaannya
yang ke-68. Dalam kesempatan bersejarah ini, perlu bagi kita untuk merenung
dan menilai secara jujur sudah sampai manakah pencapaian kita dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?
Pertanyaan lainnya adalah, apakah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sudah mampu melaksanakan tujuan pembentukan negara seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa kita? Apakah segenap rakyat Indonesia sudah merasakan manfaat dari penyerahan kebebasan mereka untuk diatur negara ini dan merasakan keadaan yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem karta raharja?
Pertanyaan lainnya adalah, apakah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sudah mampu melaksanakan tujuan pembentukan negara seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa kita? Apakah segenap rakyat Indonesia sudah merasakan manfaat dari penyerahan kebebasan mereka untuk diatur negara ini dan merasakan keadaan yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem karta raharja?
Pasti ada
sisi terang, walaupun tidak kurang sisi kelam yang membayangi perjalanan hidup
Indonesia. Sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia yang
demokratis, Indonesia sudah menjadi anggota G-20. Pendapatan Domestik Bruto
(PDB) Indonesia sudah hampir mencapai satu triliun dolar AS. Rasio utang
Indonesia terhadap PDB sebesar 25 persen, cadangan devisa 114, 502 miliar dolar
AS dan defisit publik kurang dari 2 persen terhadap PDB menunjukkan kekuatan
dan stabilitas ekonomi Indonesia pada 2011.
Selama
tujuh tahun terakhir, angka kemiskinan di Indonesia terus menurun dari 36,1
juta orang atau 16,66 persen dari total penduduk pada Februari 2004 menjadi
29,9 juta orang atau 12,36 persen dari total penduduk pada September 2011.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia beberapa tahun terakhir selalu berkisar di atas 6
persen. Kondisi ekonomi makro yang stabil dan sehat, tetapi apakah segala
keberhasilan yang dicapai benar-benar sudah memberikan manfaat bagi seluruh
masyarakat?
Nyatanya,
kita masih merasakan bayang-bayang gelap yang menghantui. Rasanya kita belum
benar-benar eksis sebagai sebuah negara yang berdaulat. Masih banyak persoalan kebangsaan
yang harus kita tangani secara komprehensif dengan semangat kebersamaan bila
kita tidak ingin menjadi negara gagal seperti hasil penelitian organisasi
nirlaba Foreign Policy and Fund for Peace. Indonesia berada di nomor urut 63,
lebih buruk dari 2011 yang berada di urutan 64. Daripada berdebat tentang
apakah Indonesia memang negara gagal, mari kita jadikan Failed States Index
(FSI) tersebut sebagai pemicu untuk mengoreksi kekeliruan.
Demokrasi Bukan Tujuan
Demokrasi Bukan Tujuan
Rasanya,
kekeliruan kita yang utama adalah menempatkan demokrasi sebagai tujuan, padahal
itu hanya cara untuk mengejar cita-cita nasional. Akibatnya, politik kita
jadikan panglima. Masih pula perlu kita pertanyakan kesesuaian sistem
kenegaraan kita saat ini dengan falsafah Pancasila. Rasanya Pancasila sudah
kita lupakan dan buang jauh-jauh dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Bagaimana
tidak, setelah empat kali perubahan Undang-Undang Dasar 1945, kita justru
menafikan golongan minoritas. Bila dahulu MPR masih menampung aspirasi kelompok
minoritas dalam bentuk utusan golongan, sekarang hanya ada perwakilan rakyat
yang dipilih mewakili partai dan mewakili daerah. Dikhawatirkan terjadi tirani
mayoritas, hilangnya hak kaum minoritas.
Dalam aspek
ekonomi, kita pertanyakan kedaulatan kita sebagai bangsa. Kita sudah melenceng
dari amanat BAB XIV Pasal 33 UUD 1945 yang mengatur bahwa: perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Kenyataannya justru banyak aset ekonomi dan strategik kita
yang dikuasai asing semisal telekomunikasi, perbankan, pertambangan dan energi.
Dalam hal pangan pun kita belum mampu berswasembada apalagi berdaulat.
Tengoklah
di sektor perbankan, misalnya, penguasaan aset perbankan nasional oleh bank
milik negara dan swasta nasional kian menyusut, digantikan penguasaan aset oleh
bank milik asing yang meningkat tajam dan mendominasi. Kepemilikan asing di
bank-bank tumbuh menjadi 21 persen di 2011. Aset bank swasta nasional yang
dimiliki lokal terus merosot dari 42 persen di 1998 ke-22 persen pada 2011,
sedangkan aset bank BUMN terus tergerus dari 44 persen pada 1998 menjadi 35
persen di 2011. Apabila ditotal dengan kantor cabang bank asing dan bank
campuran, maka total pangsa pasar bank milik asing di Indonesia sudah mencapai
34 persen (Koran Jakarta, 26 Juli 2012).
Mari kita
menyimak ayat 4 Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi “Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Tapi
apa kenyataannya?
Kita justru
melihat tingkat kesenjangan yang semakin tinggi. Data Rasio Gini yang merupakan
ukuran ketimpangan pendapatan Indonesia mencapai 0,41 pada 2011, memburuk dari
0,38 pada 2010. Konglomerasi semakin merajalela, ketimpangan antardaerah,
antarwilayah, dan antargolongan cenderung meningkat.
Sesungguhnya,
tak satu pun amanat konstitusi kita yang mewajibkan untuk menciptakan
pertumbuhan yang setinggi-tingginya, tetapi mengutamakan pemerataan dan
keadilan. Bukankah perintah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa” harus diartikan sebagai kebersamaan, bukan untuk segolongan
masyarakat?
Wajib Tegakkan Keadilan
Wajib Tegakkan Keadilan
Dalam aspek
politik kita melihat demokrasi dengan sistem pemilihan yang bebas dinodai oleh
politik transaksional. Kondisi ini mengakibatkan pemimpin yang terpilih belum
tentu adalah putra terbaik bangsa, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap
pemimpin saat ini banyak diragukan. Mereka melihat betapa banyak pejabat publik
menjadi tersangka, terdakwa, bahkan terhukum dalam kasus korupsi dan penyuapan.
Harus ada rekonstruksi politik yang lebih baik untuk lebih menjamin proses
pemilihan yang melahirkan pemimpin yang terbaik.
Dalam
suratnya kepada Bishop Mandell Creighton, 1887, Lord Acton menuliskan “Power
tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Dengan demikian,
kuncinya adalah transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang kuat.
Namun apa lacur, penegak hukum belum memenuhi harapan. Ingat kasus rekening
gendut para petinggi Polri dan transfer uang yang mencurigakan seperti
dilaporkan PPATK? Kasus-kasus besar seperti Bank Century dan Hambalang
dikhawatirkan lenyap begitu saja.
Kita juga
perlu mempertimbangkan untuk meredefinisi ulang politik luar negeri kita agar
lebih efektif dalam memperjuangkan dan menjaga kepentingan nasional. Bukankah
seharusnya kebijakan politik luar negeri semata-mata ditujukan untuk pencapaian
kepentingan bangsa? Kalau demikian, mengapa pilar utama politik luar negeri
kita lebih didasarkan pada kepentingan regional dan internasional, bukan
kepentingan nasional?
Selama 40
tahun terakhir, ASEAN selalu menjadi sokoguru politik luar negeri Indonesia,
terutama karena Indonesia adalah salah satu pendiri dan pemrakarsa ASEAN.
Karena itu, ASEAN seharusnya merupakan instrumen politik luar negeri Indonesia
karena dianggap mampu menyelesaikan permasalahan regional, bahkan
internasional.
Kenyataannya,
forum-forum ASEAN tidak mampu menyelesaikan masalah antarnegara anggota, bahkan
kecenderungannya adalah Indonesia banyak mengalahkan prinsip dan kepentingan
nasionalnya sendiri demi keutuhan ASEAN. Ketegangan di Laut China Selatan yang
kembali memanas akhir-akhir ini merupakan salah satu bukti nyata bahwa ASEAN
memang tidak berdaya.
Kembalikan Indonesiaku
Kembalikan Indonesiaku
Dalam aspek
persatuan, kita masih melihat adanya gangguan separatisme di daerah. Ada pula
kesenjangan antardaerah, antargolongan, serta antara pusat dan daerah.
Bentrokan antargolongan masih terjadi, terutama dengan adanya kelompok-kelompok
anarkis yang melakukan tindakan kekerasan dan teror terhadap masyarakat. Belum
lagi peperangan antargeng dan antargolongan yang kembali merebak.
Gangguan
terhadap kedaulatan wilayah kita masih terasa. Banyak intrusi yang dilakukan
negara asing terhadap wilayah perairan dan perbatasan. Berkurangnya luas
wilayah nasional akibat berpindahnya tapal batas wilayah kita di Kalimantan
serta pelanggaran udara dan laut RI oleh pesawat udara dan kapal perang
terutama kapal selam asing yang bahkan tidak pernah kita ketahui adanya, adalah
contoh kurangnya kemampuan dan kekuatan laut dan udara kita dalam mengendalikan
dan menjaga kedaulatan RI.
Lebih dari
itu, bangsa Indonesia saat ini tercabut dari akarnya. Wawasan kebangsaan yang
bersumber dari landasan Pancasila tidak lagi menjadi falsafah kehidupan.
Bahkan, kita sudah tidak lagi paham landasan kebangsaan kita, yaitu
kekeluargaan, musyawarah, dan mufakat karena batang tubuh konstitusi kita sudah
disimpangkan dari Pembukaan UUD 45 yang merupakan sumber dari segala sumber
hukum.
Kontemplasi
dan perenungan ini sesungguhnya bukanlah untuk menyanggah segala keberhasilan,
tetapi lebih sebagai upaya untuk menyadarkan kita semua bahwa masih sangat
banyak kekurangan yang perlu kita perbaiki.
Pasti bukan
kebetulan 17 Agustus 2012 yang akan kita rayakan beberapa hari lagi bertepatan
jatuh pada hari Jumat bulan Ramadan 1433 H, persis sama dengan 17 Agustus 1945
yang juga jatuh pada hari Jumat bulan Ramadan 1364 H. Ini menjadi peringatan
kepada kita semua untuk kembali berjuang, mengembalikan keindonesiaan kita
dengan memperbaiki pola pikir, pola sikap, dan pola tindak. Indonesia harus
kita kembalikan kepada haluannya yang benar, sesuai cita-cita pembentukannya,
yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Mari kita
kobarkan kembali rasa cinta tanah air, rela berkorban, rasa senasib
sepenanggungan, semangat persatuan dan kesatuan, dan menjadikan kemajemukan
kita sebagai kekuatan. Bhinneka Tunggal Ika dan Merah Putih harus kembali kita
junjung tinggi dan kita kibarkan. Dengan kata lain, mari kita kembalikan
Indonesia. Dirgahayu Republik Indonesia ke-68, hiduplah Indonesia raya.
(PERISKOP/SHNEWS.CO/P.011)